Dosen pada Sekolah Tinggi Pastoral Atma Reksa Ende\xd\xd\xd\xd\xd\xd\xd Flores_Nusa Tenggara Timur.\xd\xd\xd\xd\xd\xd\xd \xd\xd\xd\xd\xd\xd\xd \xd\xd\xd\xd\xd\xd Alumni Doktoral Prodi Studi Islam Kajian Dialog Antar Iman di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Rekonsiliasi Ingatan Bangsa

3 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Giring PKI
Iklan

Di tengah luka dan manipulasi sejarah, masih tumbuh impian tentang Indonesia yang adil, terbuka, dan berani berdamai dengan masa lalunya.

***

[Catatan Kecil tentang Kisah Besar G 30 S PKI]

Anselmus DW Atasoge_Sekolah Tinggi Pastoral Atma Reksa Ende

Hari ini, bangsa dan negara Indonesia mengenang Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI). Kisah kelam yang tak jarang dibaca sebagai luka politik yang membelah bangsa. Ia bersentuhan pula dengan ‘kekerasan naratif’ yang berlangsung sistematis. Jutaan orang dicap tanpa bukti, ribuan dibunuh tanpa proses hukum, dan jutaan lainnya hidup dalam stigma yang diwariskan lintas generasi. Diam dipaksakan, rasa takut dipelihara, dan sejarah dijadikan alat kontrol. Dalam jejak waktu, di sana sini masih ditemukan trauma yang belum sembuh dan pertanyaan yang belum dijawab.

Menurut Atmaja (2019), negara memiliki peran dominan dalam membentuk memori kolektif atas peristiwa G30S. Melalui kekuasaan naratif, negara mendorong masyarakat untuk menstigmatisasi eks tahanan politik PKI. Tak jarang mereka mengalami pengucilan sosial dan politik yang berkepanjangan. Ia tertinggal dalam jejak historis. Namun, ia juga menyisahkan dimensi ontologis. Ya…dimensi yang bersentuhan dengan keberadaan dan martabat manusia yang dirampas oleh kekuasaan yang represif.

Selama puluhan tahun, narasi resmi tentang G30S/PKI dikukuhkan oleh rezim Orde Baru melalui media, kurikulum pendidikan, dan propaganda negara. Lukas Herujiyanto (2020) menyebut bahwa rezim membangun “ontologi ancaman” yang menjadikan PKI sebagai simbol kejahatan mutlak. Karenanya, pembantaian terhadap mereka yang diduga terafiliasi dengan ideologi itu dapat dibenarkan secara moral dan politik. Sejarah yang seharusnya menjadi ruang refleksi berubah menjadi senjata politik untuk mempertahankan kekuasaan dan membungkam keberagaman tafsir.

Namun, dalam sejarah panjang keindonesiaan kita, ditemukan beberapa tokoh berani bersuara melawan arus. Pramoedya Ananta Toer, sastrawan yang menjadi korban penahanan tanpa pengadilan, menyatakan bahwa “bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa mengakui kesalahannya.” Gus Dur, tokoh pluralisme dan mantan presiden, mengusulkan pencabutan TAP MPRS No. XXV/1966 sebagai bagian dari upaya untuk memulihkan kemanusiaan dan membuka ruang rekonsiliasi. Ia menegaskan, “Kita harus berani membuka masa lalu. Rekonsiliasi dimulai dari kejujuran.” Dari luar negeri, Noam Chomsky menyebut pembantaian tahun 1965 sebagai “salah satu genosida yang paling diabaikan abad ke-20.” Ia bahkan menyebut bahwa dunia internasional sangat minim perhatiannya terhadap tragedi ini.

Pasca G30S, kebebasan berideologi dan berpikir kritis mengalami pembatasan. Harsa Permata (2015) menunjukkan bahwa TAP MPRS tersebut juga membatasi studi akademik terhadap Marxisme-Leninisme, sehingga menghambat perkembangan pemikiran alternatif dalam dunia pendidikan tinggi di Indonesia. Hal ini memperkuat dominasi ideologis negara dan memperlemah kapasitas masyarakat untuk memahami sejarah secara kritis.

Namun, di tengah luka dan manipulasi sejarah, masih tumbuh impian tentang Indonesia yang adil, terbuka, dan berani berdamai dengan masa lalunya. Indonesia yang tidak takut pada perbedaan ideologi, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, dan yang menjadikan sejarah sebagai ruang pembelajaran, bukan propaganda. Impian ini hidup dalam gerakan anak muda yang kritis, dalam karya seni yang berani, dalam ruang akademik yang jujur, dan dalam komunitas-komunitas yang merawat ingatan kolektif.

Adalah baik jika forum-forum akademik dan komunitas-komunitas kritis menjadi ruang harapan untuk menyembuhkan luka historis dan ontologis ini. Di sana, sejarah tidak dijadikan alat stigmatisasi, melainkan sumber empati dan rekonsiliasi. Dialog yang terbuka membuka ruang untuk mendengar, bukan menghakimi; untuk merawat ingatan, bukan menutupinya; dan untuk membangun masa depan yang adil, bukan mengulang ketidakadilan. Dalam ruang ini, kita tidak saling menyalahkan, melainkan saling memahami dan menguatkan.

Luka G30S/PKI bisa ‘diubah’ menjadi pintu. Pintu menuju rekonsiliasi. Pintu menuju Indonesia yang berani mencintai kebenaran. Rekonsiliasi bukan berarti melupakan, tetapi mengakui dan memperbaiki. Mari kita buka pintu itu bersama-sama dengan keberanian dan dengan cinta pada kemanusiaan, termasuk mencintai Indonesia, kapan dan di mana saja.

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Anselmus Dore Woho Atasoge

Penulis Indonesiana

2 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler